Rabu, 18 Januari 2012

Sejarah Pusaka "KUJANG"

. Rabu, 18 Januari 2012
0 komentar

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata. Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda Deskripsi Kujang dikenal sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat. Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. "Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi." — Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Bagian-bagian Kujang Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam. Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan Mitologi Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai; Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu? Cara-ciri Manusia ada 5 1. Welas Asih (Cinta Kasih), 2. Tatakrama (Etika Berprilaku), 3. Undak Usuk (Etika Berbahasa), 3. Budi Daya Budi Basa, 5. Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan". Cara-ciri Bangsa ada 5 1. Rupa, 2. Basa, 3. Adat, 4. Aksara, 5. Kebudayaan Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.
selengkapnya->

Photo Crew n` Atribution

.
0 komentar

Kaos yang sudah Ralist dalam kommunitas kami .
Kuarter 2 akan segera d mulai dan pelauncing'ngan kaos lengan pendek akan segera di buka .
Perkumpulan kommunitas kami di jadwal" kumpul bareng .
Beberapa Staff dan Member Kommunitas kami .
Ketua Kommunitas kami .
selengkapnya->

Sejarah Kota Bandung

.
0 komentar

Pada dasarnya asal usul nama Bandung ini banyak sekali versinya. Dalam buku tulisan Haryoto Kunto, dapat ditemukan bahwa kata Bandung, berasal dari kata Bandong, sesuai dengan penemuan sebuah negeri kecil oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva. Dan tercatat pula bahwa Dr. Andries de Wilde, seorang pemilik kebun kopi yang sangat luas di daerah ini, meminang seorang gadis dan kemudian menikahinya yang berasal dari Kampung Banong (di daerah Dago Atas). Malah ada pula yang berpendapat Kata Bandung berasal dari sebuah nama pohon Bandong ‘Garcinia spec’ (Heyne : 1950 Jilid III, pada halaman 2233, menyebutkan bahwa Bandong ‘Garcinia spec’ sejenis pohon yang tingginya 10 - 15 m dan besar batangnya 15 - 20 cm, dengan batang tak bercabang. Pohon ini dieksploitasi setelah berumur 20 - 30 tahun, dengan cara menoreh kulit kayu sedalam 2 - 3 mm akan mengalirkan cairan kekuning-kuningan. Menurut Wiesner’s Rohstoffe digunakan untuk pengobatan, mewarnai pernis-pernis spirtus, lak emas ‘goudlak’, cat air dan fotografi. Jadi nama Bandung berasal dari Bandong yang sesuai dengan sebuah nama kampung yang telah ditemukan oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva di atas. Menurut penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, T. Bachtiar, Bandung juga artinya adalah persahabatan/perdamaian. Berasal dari Bahasa Kawi, Bandung artinya bersama-sama, bersahabat, bersaing, mendampingi, dan saling tolong menolong. Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung. Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad. Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung. Berdirinya Kabupaten Bandung Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga". Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis). Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten. Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram. Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang. Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede. Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang. Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang. Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili. Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain. Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni. Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan). Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni. Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung. Berdirinya Kota Bandung Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut. Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung. Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun. Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu. Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810. indahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung. Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung. Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874). Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867. Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun. Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur) Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada. Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).
selengkapnya->

Sejarah Awal Pasukan Soenda Edan Community

.
0 komentar


Awalnya saya kenal sma yang namanya Capuy kebetulan dia kaka dari mantan saya yang sekarang cewe itu juga mengikuti kommunitas ini ,, akhirnya setelah kelamaan saya kenal ma Capuy , saya pun kenal sama yang namanya Riki (iki) dan jabatan dia sekarang sebagai Ketua dari Soenda Edan .
Dari situ pun kami hanyalan kommunitas biasa yang sering ngumpul-ngumpul sambil happy-happy sesuai dengan apa yang kita mau yah terlebih sering'nya kita sering bermain gitar d pinggir jalan tapi kita bukan pengamen bos ,, kita hanya menginspirasikan bahwa kita pun punya seni selain itu kita pun sering shering menceritakan masalah kehidupan kita yang berbeda 1 sama lain d kehidupan kami-kami .

Communitas ini berdiri pada tanggal 11 November 2011 , ya mungkin ini baru tapi kami semua sudah mempunyai nilai cukup untuk suatu ke anggotaan .
Saat itu Saya bersama Riki cuman bercanda dalam membicarakan suatu pembuatan baju Communitas yang menurut saya "Kalo kita membuat baju communitas , Communitas apa yang mau kita usungkan' Saya dan Riki pun masih 50:50 untuk mengusung pembuatan Baju kommunitas ini . Dan akhirnya Saya pun mempunyai inspirasi dari kata PASUNDAN yang mewakili dari singkatan Pasukan Sunda Edan cuman awalnya kata PASUNDAN itu keluar dari mulut anak-anak SMA mau pun SMP PASUNDAN yang mencuplikan kata-kata Pasukan Sunda Edan .

Tapi kami di sini ingin meluruskan apa perbedaan dari PASUNDAN anak SMA/SMP dengan Kommunitas kami :
Kalau SMA/SMP itu mngusung suatu perkumpulan anak-anak sekolah yang menjadikan mereka Kelompok PASUNDAN yang bukan memahami kecintaan terhadap kota SUNDA mau pun terhadap KESENIAN SUNDA .
Dan kalau Pasukan Soenda Edan itu memaknai yang bernama Communitas , paling detailnya kita menghargai KOTA SUNDA dan KESENIAN-KESENIAN kota SUNDA yang selama ini telah termakan oleh masa moderen , Jadi di sinilah Communitas kami akan mendirikan Kota SUNDA yang dulu ada menjadi lebih Hidup dan Maju .
Nah itulah perbedaan dari kami bersama mereka-mereka itu .

Akhirnya Saya bersama Riki mengusung Communitas Pasundan untuk jadi nama Communitas kami , dan di situ juga anak-anak Communitas kami menilai positif apa yang kami usung untuk Communitas ini ,, tak lama kemudian kami semua sepakat untuk membuat suatu baju Communitas kami dan beberapa minggu baju pun jadi .
Nah di balik itu ternyata da Controfersial jadi ada yang menilai negatif terhadap Communitas kami karna dari suatu nama "Pasukan Soenda Edan" nah dari kata Edan itu orang-orang menilai segi negatif karna banyak yang bilang orang sunda tidak pada edan semua , dari situ kami semua mengadakan suatu rapat kecil-kecilan untuk menerangkan apa arti dari "Pasukan Soenda Edan" dan kalian juga para pembaca mesti tau arti dari "Pasukan Soenda Edan" artinya adalah kita garis bawahi kalimat Edan'nya kalimat Edan bagi kami menunjukan Edan dalam segi POSITIF yang mengarikan Bagus dalam bahasa indonesianya jadi di maknakan Sunda itu Edan dari seni'nya,Edan dari Mainan-Mainan'nya dan Edan juga dari Solideritas'nya , nah itulah arti dari Edan yang kami usung untuk Communitas kami .

Saya pun akan memeberikan susunan STAFF dan MEMBER dari Communitas Kami :

Ketua
Riki Adrian (Iki`e)

Wk.Ketua
Iwan (One`s)

Pengurus
Cepie (Veii),
Arif (Aif)

Sek.Bendahara
Rahmat (Ben`z)
Fitrie (Bullz)

Member
Adot, Thesa, Ndutz, Leak,
Cimol, Tomy, Dhea,
Dian, And`chut, Black,
Ditha, Vans, Bagas,
Rere, Irman, Capuy,
Keterangan :
Maaf ini belum semua Anggota terdata masalahnya saya lupa lagi nama-nama'nya , tapi jangan kecewa nanti saya Update lagi nama-nama Anggotanya .

Ok itulah sejarah perjalanan Communitas kami yang Saya rangkum dengan ke adaan aslinya , sebenarnya masih panjang cuman saya rangkum aja takut si pembaca pusing tuk baca artikel sejarah ini . Baiklah sekian dari saya (Veii`Checklist) sebagai Pengurus dari Communitas ini dan saya ucapkan "JAYA TERUS KOTA SUNDA" .

Wassalam'muallaikum Wr.Wb .
selengkapnya->

 

My Blog List

®|| Veii`Soenda Edan™ ||® is proudly powered by Pusat Cara | Modif by Junay Sugiyanto™